BENARKAH JIKA MENGKONSUMSI UDANG DAN MINUMAN JERUK BISA MENYEBABKAN KERACUNAN?

BAB I
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Jumlah ragam peristiwa keracunan karena mengkonsumsi seafood cukup banyak. Salah satu jenis keracunan yang berkaitan dengan konsumsi seafood adalah berkaitan dengan konsumsi udang bersamaan dengan meminum es jeruk ataupun sumber vitamin C. Gejala keracunan yang terjadi akibat mengkonsumsi udang dan es jeruk tersebut antara lain rasa pusing, rasa mual yang hebat, muntah-muntah dan keringat dingin. Salah satu contohnya adalah peristiwa keracunan yang terjadi di Ruteng Manggarai Nusa Tenggara Timur. Peristiwa tersebut terjadi di sebuah rumah makan Cianjur yag dikelola oleh Bapak Apip Sopandi dan istrinya. Warung makan tersebut menyajikan masakan seafood yang beragam seperti ikan, cumi dan udang. Suatu hari terdapat konsumen warung Cianjur tersebut yang keracunan setalah mengkonsumsi udang yang disajikan di rumah makan tersebut. Korban keracunan tersebut mengalami gejala mual hebat, pusing dan keringat dingin hingga dilarikan ke rumah sakit (Baranews.com). Hingga kini belum ada perkembangan kabar kelanjutan mengenai kasus tersebut.  
Kasus lainnya yang berkaitan dengan keracunan akibat konsumsi udang dan vitamin C adalah kabar yang disebarluaskan melalui  BlackBerry Messenger (BBM) dan short message service (SMS). Isi dari BBM atau SMS itu menceritakan bahwa ada seorang perempuan meninggal mendadak dengan lima pancaindra keluar darah. Kematian perempuan ini dinyatakan karena ketidaktahuannya tentang racun akibat makanan. Disebutkan pula, perempuan naas itu memiliki kebiasaan meminum vitamin C setiap hari. Hanya masalahnya, pada malam sebelum kematiannya perempuan itu banyak mengonsumsi udang yang disebut mengandung banyak cemaran logam berat. Asupan vitamin C tersebut kemudian bereaksi dengan logam tersebut hingga terjadilah reaksi dalam perut perempuan itu. Reaksi yang berlangsung tersebut bersifat sangat beracun hingga memberikan efek berbahaya untuk tubuh (Health Detik,com).
Keberadaan logam berat dalam tubuh udang berkaitan dengan senyawa logam yang terkandung dalam perairan. Logam berat dalam perairan akan  diemisikan  dalam  bentuk  partikel sehingga  organisme  dapat mengakumulasikan  timbal  dari  air  dan sedimen.  Udang merupakan  organisme  omnivora  dan  juga scavenger.  Sumber  makanannya  adalah krustasea, moluska,  dan hewan kecil  lainnya  yang hidup di dasar badan air,  dan juga bahan organik yang melapuk membentuk partikulat dan mengendap di dasar badan air. Kegiatan udang bergerak dan mencari makan di dasar  laut, yang  merupakan  tempat partikulat terendapkan/tersedimentasi akan menyebabkan akumulasi senyawa tersebut dapat masuk ke dalam tubuh udang. Jika suatu habitat  udang tercemar logam berat maka udang tersebut sangat rentan terkontaminasi oleh logam berat yang terlarut dilingkungannya. Udang yang sudah terkontaminasi oleh logam berat akan membahayakan kesehatan manusia yang  mengkonsumsinya. Daya  racun  logam berat yang  melebihi  ambang  batas  di  dalam tubuh dapat mempengaruh penurunan fungsi pendengaran, mempengaruhi perilaku dan  intelejensia, merusak fungsi organ tubuh, seperti ginjal, sistem syaraf, dan reproduksi, serta  meningkatkan tekanan darah dan mempengaruhi perkembangan otak (Baird 2012). Berdasarkan beberapa contoh kasus diatas, perlu dilakukan observasi mengenai kebenaran dan fakta ilmiah apakah benar mengkonsumsi udang dengan es jeruk ataupun sumber vitamin C dapat menyebabkan keracunan.
1.2  Tujuan
Tujuan dari penulisan rencana penelitian ini adalah :
1.   Memperoleh data konsentrasi cemaran logam pada air dan sedimen tambak udang
2.   Memperoleh data konsentrasi cemaran logam pada udang windu pada tambak di desa lamaran tarung, kecamatan centigi, kabupaten Indramayu
3.   Membuktikan secara ilmiah potensi efek toksik yang dihasilkan dari konsumsi udang dengan jeruk secara bersamaan pada mencit   
1.3   Hipotesis
Hipotesis yang disusun berdasarkan informasi yang diperoleh adalah sebagai berikut:
1.      Efek toksik yang dihasilkan merupakan hasil reaksi dari kandungan logam pada udang dengan asam askorbat dari minuman jeruk   
2.      Efek toksik yang dihasilkan disebabkan karena kandungan logam berat dalam konsentrasi tinggi pada udang yang tercemar dari lingkungannya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Kandungan Udang
Secara garis besar tubuh udang dapat dibagi atas dua bagian utama yaitu kepala yang menyatu dengan dada (cephalothorax) dan dibagian tubuh sampai ke ekor (abdomen). Mutu udang terutama ditentukan oleh keadaan fisik dan organoleptik dari udang. Keadaan fisik meliputi keseragaman jenis dan ukuran udang, sedangkan organoleptik meliputi faktor mutu rupa warna dan bau (Arpah, 1993). Komposisi kimia daging udang dapat dilihat pada Tabel 1.
  Tabel 1. Komposisi kimia daging udang
Kandungan
Jumlah
Satuan
Air
78,2
%
Protein
18,1
%
Lemak
0,8
%
Karbohidrat
0,69
%
Garam Mineral
1,4
%
Kalsium
145-320
mg/100 g
Magnesium
40-105
mg/100 g
Fosfor
270-350
mg/100 g
Besi
1,6
mg/100 g
Natrium
140
mg/100 g
Kalium
220
mg/100 g
Senyawa Nitrogen Non Protein
0,81
%

Ciri-ciri udang segar dapat dilihat dari kulit permukaan yang masih tampak basah mengkilap. Penampakan secara umum menunjukkan bahwa udang segar memiliki konsistensi antar rongga badan yang sangat baik, badan tampak mengkilap dan kelihatan basah. Udang segar memiliki vau spesifik seperti arima rmput laut sedangkan udang rusak memiliki warna kulit permukaannya menjadi biru kusam dan kering. Ikatan antar ruas badan dari udang yang rusak sangat longgar, teksturnya lunak, tidak elastic dan mulai nagak rapuh. Udang rusak memiliki bau amis yang mengarah ke bau amoniak, tangkai mengatup serta mata penyok dan warna mengalami diskolorisasi (Maniharapon, 1991).


2.2  Asam Askorbat
Asam askorbat atau vitamin C merupakan senyawa yang sangat mudah larut dalam air, mempunyai sifat asam dan sifat pereduksi yang kuat. Sifat-sifat tersebut terutama disebabkan adanya struktur  enediol yang berkonjugasi dengan gugus karbonil dalam cincin lakton. Bentuk vitamin C yang ada di alam terutama adalah L- ascorbic acid. D-ascorbic acid jarang terdapat di alam dan hanya memiliki 10% aktivitas vitamin C. Vitamin C atau asam askorbat merupakan vitamin yang tidak mengandung gugus amina, terdiri atas 6 rantai karbon dan mudah bereaksi dengan oksigen membentuk dehidroksi askorbat. Vitamin C yang mempunyai  rumus empiris C6H8O6 dalam bentuk murni merupakan kristal putih, tidak berwarna, tidak berbau dan mencair pada suhu 190-192ºC. Senyawa ini bersifat reduktor kuat dan mempunyai rasa asam (Combs, 1992). Vitamin ini sangat sensitive terhadap berbagai kondisi untuk mengalami degradasi. Faktor-faktor yang berpengaruh adalah temperatur, konsentrasi garam dan gula, pH, oksigen, enzim, katalis, logam, konsentrasi awal dan ratio antara konsentrasi asam askorbat dengan asam dehidro asam askorbat. 
Vitamin C adalah electron donor (pemberi electron) sehingga dapat disebut sebagai antioksidan. Vitamin C sebagai pemberi electron juga berperan sebagai agen reduktor yang berasala dari sifat ikatan ganda antara C-2 dan C-3 dari cincin lakton 6-karbon tersebut. Oleh karena itu vitamin C dapat mencegah senyawa-senyawa lain mengalami oksidasi dan secara almiah vitamin C itu sendiri yang akan mengalami oksidasi (Padayatty et al, 2003).
2.3  Logam
Logam berdasarkan sifat fisik memiliki definisi umum yaitu suatu senyawa yang memiliki bentuk fisik yang mengkilap, dapat menghantarkan panas dan listrik. Kemudian konsep asam dan basa, hubungan kekerasan, kelunakan dan penerapan sifat keras dan lunak untuk pembentukan kompleks logam diketajui memberikan pengaruh terhadap kelarutan dan mobilitas logam di lingkungan (Goyer, 2004). Logan berat sering digunakan untuk menunjukkan polusi dan efek toksik. Arsen, cadmium, timbal, merkuri dan senyawa anorganiknya diketahui sebagai logam beracun. Logam-logam tersebut terdapat secara alami di udara, air, dan tanah walaupun dikategorikan sebagai logam yang memiliki efek merugikan bagi kesehatan. Terdapat beberapa jenis logam lain seperti alumunium, antimon, barium, berilium, perak dan strontium yang umum digunakan pada kegiatan industry. Oleh karena itu hal tersebut juga dapat menyebabkan peningkatan paparan logam-loga tersebut pada manusia.
Logam yang mempunyai kontribusi toksisitas di dalam air adalah timbal, kadmium, merkuri, dan aluminium. Sumber dari logam berat timbal, kadmium, dan merkuri dalam air, baik yang berupa larutan atau pun padatan sering ditemukan dibalik batu, ditemukan dalam bentuk sulfida yang berasal dari limbah/buangan industri yang terkontaminasi, lindi dari secure landfill yang tidak terkendali, kegiatan pertambangan yang buruk, dan kebocoran pada kolam penampungan limbah (Bunce, 1994). Logam berat secara umum masuk ke lingkungan dengan dua cara, yakni secara natural dan antropogenik (terlepas ke lingkungan dengan campur tangan manusia atau tidak alami). Kondisi alami terlepasnya logam berat di lingkungan akibat adanya pelapukan sedimen akibat cuaca, erosi, serta aktivitas vulkanik. Sedangkan, terlepasnya logam berat secara antropogenik akibat aktivitas manusia diantaranya electroplating/pelapisan logam, pertambangan, peleburan, penggunaan pestisida, pupuk penyubur tanah, dan lain sebagainya (Ali et al., 2013). Salah satu contohnya adalah logam arsenik yang merupakan unsur karsinogenik yang hampir selalu ditemukan secara ilmiah di daerah pertambangan walaupun jumlahnya sangat sedikit. Arsen terjadi dalam bentuk organic maupun anorganik, memiliki perbedaan valensi meliputi +5 (arsenate), +3 (arsenite) dan -3 (arsine). Arsen anorganic merupakan arsen yang bergabung dengan elemen lain seperti oksigen, sulfur dan klorida, sedangkan senyawa arsen organik merupakan arsen yang bergabung dengan elemen hydrogen dan karbon (Orloff et al, 2009).
2.4  Penyakit karena toksin laut
Penyakit manusia yang disebabkan oleh mengkonsumsi hasil laut (ikan, kerang, lobster) yang tercemar/terkontaminasi oleh toksin fitoplankton atau melalui menghirup udara/aerosol yang mengandung brevetoksin saat terjadi kondisi red-tide (peledakan populasi mikro algae tertentu). Fitoplankton membentuk bagian dasar jejaring makanan di laut (marine food web), dan toksin yang dihasilkannya dapat terakumulasi dan terkonsentrasi pada organisme-organisme lain yang letaknya lebih tinggi pada jejaring makanan. Penyakit-penyakit utama yang terkait dengan fitoplankton umumnya karena mengkonsumsi hasil laut (umumnya jenis-jenis kerang dan krustase). Termasuk diantaranya adalah: amnesic shellfish poisoning (ASP), diarrheic shellfish poisoning (DSP), neurotoxic shellfish poisoning (NSP) dan paralytic shellfish poisoning (PSP). Selain itu terdapat jenis-jenis penyakit lain yang tidak terkait dengan blooming algae (harmful algal toxins/HABs), misalnya: akibat mengkonsumsi ikan yang terkontaminasi oleh ciguatoxins yang dihasilkan oleh fitoplankton (Gamerdiscus toxicus) yang umumnya dijumpai/hidup pada hamparan terumbu karang.
Jenis krustasea yang hidup di dalam air terdiri atas banyak spesies, salah satunya adalh udang. Jenis organisme ini pergerakannya relative tidak secepat jenis ikan untuk menghindar dari pengaruh polusi logam dalam air. Karena bergerak dan mencara makan di dasar air, sedangkan lokasi tersebut merupakan tempat endapan dari berbagai jenis limbah, maka jenis krustasea ini merupakan indikator yang baik untuk mengetahui terjadinya polusi lingkungan (Darmono, 2001). Pemaparan pada toksin ini selain disebabkan oleh faktor kebiasaan makanan (food habits), juga banyak disebabkan oleh faktor profesi seperti nelayan, pengolahan, pekerja-pekerja lingkungan, pengepakan dan pengiriman (shipping), atau masyarakat yang berdomisili dekat pantai (coastal communities).
  
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1.Bahan dan Alat          
Penelitian ini menggunakan hewan coba mencit jantan galur Sprague Dawley, sejumlah 300 ekor mencit jantan dengan berat badan 24-30 gram yang diperoleh dari Laboratorium Hewan Percobaan, Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional (BPOM RI Jakarta).
Sampel untuk analisis logam yang digunakan adalah udang yang berasal dari tambak di daerah Indramayu. Sampel yang digunakan sebanyak 18 sampel yang terdiri dari 6 sampel udang Windu, 6 sampel air tambak dan 6 sampel sedimen dasar tambak. Bahan yang digunakan untuk analisis kuantitatif logam berat adalah, larutan H2SO4 pekat 30%, aquades, larutan HNO3 pekat dan larutan standar 8 logam dengan konsentrasi 0.01, 0.05, 0.1, 0.5, 1, 2.5, 5, 10, 25, 50, 100, 200 dan 300 ppb. Untuk analisis metode BSLT dan secara in vivo digunakan telur udang laut (Artemia salina Leach), air laut steril dengan salinitas 30 psu, air jeruk, aquades, larutan CdCl2, larutan Pb(CH3COO)2 dan pakan mencit.
Peralatan yang digunakan pada penelitian adalah Inductively Coupled Plasma Mass Spectometry (ICP-MS) Perkin Elmer DRC II, water bath, neraca analitik, Erlenmeyer 50 mL, labu takar 1 L, Labu takar 50 mL, mikropipet, kertas saring Whatman, corong, gelas piala. tabung kuvet, perangkat untuk pembiakan larva udang (wadah air laut, lampu dan aerator) dan  blender.
3.2.Metode Penelitian
3.2.1     Penelitian Tahap I : Analisis cemaran logam pada air, sedimen dan udang
Pengambilan sampel. Pada tambak di daerah Indramayu masing-masing diambil 18 sampel yang terdiri dari 6 sampel udang Windu, 6 sampel air tambak dan 6 sampel sedimen dasar tambak. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik sampling acak sederhana. Titik sampel tersebar dengan jarak antar titik kurang lebih 500 m dan berjarak lebih dari 200 m dari tepi pantai (Budiarti et al., 2010). Penelitian dilaksanakan pada saat musim peralihan. Pada masing-masing lokasi diambil enam titik sampel air, lumpur dan udang Windu. Sampel air diambil menggunakan botol plastik. Sedimen diambil pada bagian permukaan sedimen dengan kedalaman keruk ±10 cm dari tiap-tiap lokasi menggunakan grab sampler yang dilapisi plastik, kemudian dimasukkan kedalam plastik dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisis kandungan logam berat  (Hutagalung, 1997).
Preparasi sampel. Untuk sampel ditimbang 0,5 gram, ditambahkan 3 ml H2SO4 pekat, kemudian dipanaskan hingga mendekati kering, setelah dingin ditambahkan 10 ml HNO3 pekat, setelah larut semua diencerkan dengan air bebas mineral dalam labu takar 50 hingga tanda batas, selanjutnya didapatkan larutan analisis (APHA, 2012).
Pengujian dengan ICP-MS. Larutan standar 8 logam dengan konsentrasi 0.01, 0.05, 0.1, 0.5, 1, 2.5, 5, 10, 25, 50, 100, 200, dan 300 ppb diinjeksi ke ICP-MS dan dibuat kurva hubungan konsentrasi standar logam dengan intensitas. Persamaan regresi linier yang dihasilkan dari kurva hubungan kemudian digunakan untuk uji analisis kadar logam. Kemudian larutan sampel diinjeksi ke ICP-MS dan menghasilkan nilai intesitas. Kadar logam dihitung berdasarkan nilai intensitas menggunakan persamaan regresi linier dari kurva standar logam (APHA, 2012).
3.2.2     Penelitian Tahap II : Uji Toksisitas ekstrak campuran udang-jeruk dan larutan jeruk dengan Metode Uji BSLT (LC50) dan In Vivo Pada Mencit dengan Metode LD50
Metode Uji BSLT (LC50) (Juniarti dkk, 2009)
Penetasan Larva Udang. Disiapkan bejana untuk penetasan telur udang. Di satu ruang dalam bejana tersebut diletakkan lampu untuk menghangatkan suhu dalam penetasan, sedangkan di ruang sebelahnya diberi air laut. Ke dalam air laut ditambahkan ± 50-100 mg telur udang untuk ditetaskan. Pada bagian telur ditutup dengan aluminium foil dan lampu dinyalakan selama 48 jam untuk menetaskan telur. Diambil larva udang yang akan diuji dengan pipet.
Persiapan Larutan Sampel. Ekstrak sampel yang akan diuji dibuat dalam konsentrasi 10, 100, 500, dan 1000 ppm dalam air laut. Bila sampel tidak larut ditambahkan DMSO.
Sampel dengan perlakuan sebagai berikut
Perlakuan 1 : Larutan Udang + jeruk
Perlakuan 2 : Larutan logam tertentu + akuades
Perlakuan 3 : Larutan logam tertentu + jeruk
Prosedur Uji Toksisitas dengan Metode BSLT. Sebanyak 100 μL air laut yang   mengandung larva udang sebanyak 10-12 ekor dipipet, kemudian dimasukkan ke   dalam tabung. Di tambahkan larutan sampel (perlakuan 1-3) yang akan diuji masing-masing sebanyak  100 μL, dengan konsentrasi 10, 100, 500 dan  1000  ppm. Untuk  setiap  konsentrasi dilakukan 3 kali pengulangan (triplikat). Larutan diaduk sampai homogen. Untuk kontrol dilakukan tanpa penambahan sampel. Larutan dibiarkan selama  24  jam,  kemudian dihitung  jumlah  larva  yang  mati  dan masih hidup dari tiap tabung. Angka mati dihitung dengan menjumlahkan larva  yang  mati  dalam setiap konsentrasi (3 tabung). Angka hidup dihitung dengan menjumlahkan larva yang hidup dalam setiap konsentrasi (3 lubang). Perhitungan akumulasi mati tiap konsentrasi dilakukan dengan cara berikut: akumulasi  mati  untuk  konsentrasi 10 ppm = angka  mati  pada  konsentrasi  tersebut,  akumulasi  mati  untuk konsentrasi 100 ppm = angka mati pada konsentrasi 10 ppm + angka mati  pada  konsentrasi 100 ppm. Akumulasi angka mati dihitung hingga konsentrasi 1000  ppm.  Perhitungan  akumulasi  hidup tiap konsentrasi dilakukan dengan cara berikut: akumulasi  hidup  untuk  konsentrasi  1000  ppm = angka hidup  pada  konsentrasi 1000 ppm,  akumulasi  hidup untuk konsentrasi 500 ppm = angka   hidup pada konsentrasi  1000  ppm  +  angka  hidup  pada  konsentrasi 500 ppm. Akumulasi  angka  hidup  dihitung  sampai konsentrasi 10 ppm.
         Selanjutnya  dihitung  mortalitas  dengan  cara:  akumulasi  mati  dibagi  jumlah  akumulasi  hidup  dan  mati  (total)  dikali   100%.   Grafik   dibuat   dengan   log konsentrasi sebagai  sumbu  x  terhadap  mortalitas  sebagai  sumbu  y. Nilai    LC50 merupakan konsentrasi dimana zat menyebabkan kematian 50% yang  diperoleh  dengan  memakai persamaan regresi linier y = a + bx. Suatu zat dikatakan  aktif  atau  toksik  bila  nilai  LC50< 1000  ppm untuk ektrak dan <30 ppm untuk suatu senyawa.

Metode LD50 Pada Mencit (Saito dan Yamamoto, 1996)
         Sebanyak 300 ekor mencit digunakan dalam penelitian ini dan dibagi kedalam 20 kelompok perlakuan sebanyak 10 ekor per kelompok. Kelompok perlakuan terdiri dari 6 variabel perlakuan (Larutan CdCl2, larutan Pb(CH3COO)2, Udang + Akuades, Udang + Jeruk, Jeruk, Akuades) dan 5 dosis pendedahan (10, 20, 30, 40, 50 mg/kg). Mencit yang digunakan adalah mencit jantan dengan berat badan 24-30 gram. Mencit ditempatkan pada kandang dengan kondisi yang sesuai menurut Saito dan Yamamoto (1996). Larutan campuran udang dengan akuades/jeruk dibuat dengan menggunakan blender. Larutan CdCl2 dan Pb(CH3COO)2 sebagai kontrol positif dibuat dengan melarutkan logam tersebut dalam akuades. Pendedahan dilakukan dengan metode oral gavage pada mencit sebanyak 10 ml/kg per hari selama 7 hari. Sebelum didedah, mencit terlebih dahulu ditimbang untuk disesuaikan jumlah dosis yang akan digunakan. Setelah 7 hari pendedahan, jumlah mencit yang mati pada tiap kelompok perlakuan dihitung. LD50 Pb pada mencit adalah 16,9 mg/kg dan LD50 Cd pada mencit adalah 33,6 mg/kg.
  
BAB IV
PEMBAHASAN : Capaian Yang Diharapkan

4.1. Uji Cemaran Logam Air, Sedimen dan Udang Pada Tambak
Pada tahapan ini dilakukan uji menggunakan water kit test terlebih dahulu sebagai screening awal ada atau tidaknya jenis logam pada ketiga sampel. Kemudian dilanjutkan dengan mencari konsentrasi logam dengan menggunakan ICP-MS. Dari tahapan tersebut dapat diketahui cemaran logam dominan pada sampel air dan sedimen tambak. Oleh karena itu diduga terdapat potensi terjadi cemaran juga pada udang yang ada pada tambak tersebut. Pada tahapan uji cemaran logam pada udang bertujuan untuk mengetahui kecocokan antara cemaran logam pada air dan sedimen dengan cemaran logam dominan pada udang.
4.2. Uji toksisitas metode BSLT
Pada tahapan sebelumnya didapatlkan cemaran logam dominan yang terdapat pada udang windu. Pada tahapan ini dilanjutkan dengan metode BSLT untuk mendapatkan konsentrasi minimal untuk membunuh 50% populasi larva udang. Apabila pada perlakuan kombinasi udang dan jeruk membunuh 50% populasi larva udang maka dapat dilanjutkan dengan penentuan LD50 pada mencit. Tetapi apabila dengan metode BSLT  tidak mencapai LC50 maka penelitian tidak perlu diteruskan kepada uji LD50 pad mencit.
4.3.Uji In Vivo LD50 Pada Mencit
Pada tahapan akhir ini capaian yang diharapkan adalah mendapatkan dosis minimal untuk membunuh 50% populasi mencit. Apabila tercapai LD50 dengan kondisi udang sesuai perlakuan 4.2 maka kombinasi antar udang dan jeruk berpotensi besar menghasilkan efek toksik pada tubuh mencit. Tetapi apabila tidak tecapai LD50 maka kombinasi udang dan jeruk dengan metode LD50 diduga tidak menimbulkan efek toksik pada mencit.
  
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan rancangan penelitian yang diusulkan dalam tulisan ini maka dapat disimpulkan bahwa potensi timbulnya toksik dari konsumsi udang dan jeruk secara bersamaan, penting untuk dibuktikan secara ilmiah. Pendekatan dengan uji LC50 dan LD50 diharapkan dapat menjadi dasar pertimbangan mengenai efek toksik dari konsumsi udang dan jeruk secara bersamaan. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu informasi yang dapat membantu menjawab dan mengkonfirmasi fenomena di masyarakat terkait bahaya dari mengkonsumsi udang dan minuman jeruk secara bersamaan. Selain itu, rancangan penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan edukasi kepada konsumen/masyarakat agar melakukan pengecekan mutu, kualitas dan kesegaran seafood yang akan dikonsumsi.

DAFTAR PUSTAKA

Ali H, Khan E, Sajad MA. 2013. Phytoremediation of Heavy Metals-Concepts and Application. Chemosphere 91 869-881.
(APHA) American Public Healt Association. 2012. Standard Method for Examination of Water and Waste Water 22nd Edition. Street NW (US): Water Environment Federation.
Arpah M. 1993. Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung.
Baird  C,  Cann  M.  2012.  Environmental  Chemistry.  Edisi  kelima.  New  York:  WH Freeman and Co.
Bararah VF. 2012. Benarkah minum jeruk setelah makan udang bisa bikin keracunan? [internet]. [diacu 26 April 2017]. Tersedia dari: health.detik.com
Budiarti A., Kusreni, dan Musinah S. 2010. Analisis Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) dalam Udang Putih (Litopenaeus vannamei) yang Diperoleh dari Muara Sungai Banjir Kanal Barat dan Perairan Pantai Kota Semarang. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi, B1-B6.
Bunce N. 1994. Environmental Chemistry. Canada: Wuerz Publishong Ltd.
Combs Jr, GF. 1992. The Vitamin. Fundamental Aspects in Nutrition and Health. 1 Academic Press, Inc, San Diego.
Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Cetakan I. Jakarta : Universitas Indonesia.
Goyer R. 2004. Issue Paper On The Human Health Effect Of Metals. Environmental Protection Agency : U.S.
Hutagalung, H.P., 1997, Metode Analisa Air Laut, Sedimen dan Biota. P3O – LIPI, Jakarta.
Juniarti, Osmeli, D., dan Yuhernita, 2009, Kandungan senyawa kimia, uji toksisitas (Brine Shrimp Laethality Test) dan antioksidan (1,1-diphenyl-2-pikrilhydrazyl) dari ekstrak daun saga (Abrus precatorius L.), Makara Sains 13(1), hal. 50-54.
Manah A. 2016. Ini pengakuan pemilik rumah makan Cianjur soal keracunan “Seafood” [internet]. [diacu 4 Mei 2017]. Tersedia dari: m.baranews.co.
Maniharapon T.1991. Pengkajian Penanganan Udang Windu (Penaeus monodon Fab) Untuk Mempertahankan Kesegaran. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Orloff K, Mistry K, Metcalf S. 2009. Biomonitoring For Environmental Exposures to Arsenic. J Toxicol Environ Health B. 12: 509-524.
Padayatty et al. 2013. Vitamin C as an Antioxidant: Evaluation of its Role in Disease Prevention. Journal of American College of Nutrition. Maryland: 22: 18-35.
Saito, A, Yamamoto, M. 1996. Acute Oral Toxicity of Capcaisin in Mice and Rats. The Journal of Toxicological Sciences, 21:195-200.